Fiksi

Sebatang senja di ujung jalan

Senja itu, langit berwarna jingga keemasan. Angin membawa bau tanah basah setelah hujan. Di ujung jalan desa, seorang perempuan muda bernama Laras berdiri dengan tubuh bergetar, menggenggam sepucuk surat yang sudah basah oleh air mata.

Surat itu dari Aksa, lelaki yang dulu berjanji tak akan pernah meninggalkannya. Dalam suratnya, tertulis singkat: “Maafkan aku, Laras. Aku harus pergi. Jangan menungguku.”

Kaki Laras lemas, namun hatinya lebih lemas lagi. Ia tahu Aksa adalah satu-satunya alasan ia bertahan melawan kerasnya hidup di rumah yang tak pernah benar-benar menjadi rumah—ayah yang kasar, ibu yang dingin, dan malam-malam penuh pertengkaran.

Kini, satu-satunya cahaya yang ia punya memilih padam.

Laras berjalan pelan ke jembatan tua yang membelah sungai kecil. Airnya masih beriak, seolah ikut mendengarkan hatinya yang retak. Ia menatap bayangannya sendiri di permukaan air, wajah lelah dengan mata bengkak.

“Apa aku memang tak layak dicintai?” bisiknya lirih.

Di balik semak, seorang bocah kecil menatapnya. Itu adiknya, Rafi, berusia tujuh tahun. Dengan langkah terburu, Rafi memeluk kakaknya dari belakang.

“Kak, jangan nangis. Kalau Kakak hilang… aku sendirian.”

Pelukan kecil itu seolah menyalakan kembali bara yang hampir padam. Laras sadar, ada satu alasan lagi untuk tetap bertahan: adiknya.

Ia menghela napas panjang, meremas surat yang kini basah seluruhnya. Lalu, ia melemparnya ke sungai.

“Baiklah,” ucapnya dengan suara serak. “Kalau dunia tak memilihku, aku sendiri yang akan memilih. Aku akan bertahan, Rafi. Demi kita.”

Senja pun tenggelam, tapi mata Laras kini tak lagi penuh putus asa. Dalam gelap yang datang, ia menemukan cahaya kecil: harapan.

Related posts

Langit Oranye, Wajah yang Kutunggu

Zida Sabrina

Kursi yang Kosong

Putri Syafarista

Menebus180 Hari dengan Hitungan Detik

Zida Kamalia

Leave a Comment