Di sebuah kamar kecil, seorang perempuan duduk bersandar di jendela. Malam itu angin berhembus pelan, membawa aroma dingin yang merambat hingga ke perasaan. Matanya tak lepas menatap bintang-bintang, sementara jemarinya menggenggam sebuah catatan kecil dengan tulisan sederhana “180 hari.Angka itu bukan sekadar hitungan, melainkan penanda waktu yang ia lalui tanpa melihat sosok yang pernah membuatnya percaya pada rasa. Hari-hari berjalan lambat, meninggalkan sunyi yang tak pernah benar-benar ia pahami.“Tidak apa-apa,” ujarnya lirih kepada seorang teman yang menemaninya. “Kalau memang dia tidak pernah menoleh, biarlah aku belajar ikhlas.”Temannya hanya diam. Sebab bagaimana mungkin seseorang menimbang perasaan orang lain, jika tak pernah ikut hanyut di dalamnya?Namun takdir kerap punya cara sendiri. Pada malam ke-181, di tengah sebuah keramaian, perempuan itu mendapati matanya menangkap sosok yang selama ini hanya hidup dalam doa dan bayangan. Ia berdiri di sana, biasa saja, tanpa menoleh. Tapi bagi perempuan itu, dunia seakan berhenti.Tak ada kata yang terucap, tak ada tangan yang terulur. Hanya sekelebat tatap. Namun justru di situlah letak magisnya: perasaan yang dipendam selama 180 hari menemukan jalan pulang, meski tanpa sapaan.“Cukup,” batinnya. “Cukup bagiku, karena semesta memberi kesempatan menebus rindu, walau hanya sebentar.”Baginya, cinta bukan tentang memiliki. Kadang, hanya dengan melihat dari jauh, seseorang bisa merasa lengkap.Dan di balik catatan kecil itu, tersimpan sebuah pelajaran bahwa kerinduan bisa menjadi perjalanan sunyi, sekaligus cara paling jujur manusia merawat hatinya.
previous post