Pagi yang dingin di Pegunungan Arfak, Papua Barat. Wulan menarik napas panjang sambil mengikat sepatu botnya. Ia tahu jalan setapak yang akan dilalui hari ini berat dan berliku melewati hutan, bukit, dan sungai kecil. Namun semangatnya tak pernah surut. Karena baginya, bukan cuma soal menuntaskan tugas sebagai petugas kesehatan ini adalah soal menjaga nyawa yang bertaut pada satu keputusan: tidak memberi celah bagi malaria.
Sepuluh tahun yang lalu, Wulan tiba di Pegunungan Arfak. Saat itu, ia melihat sendiri bagaimana malaria merajalela dari desa ke desa, dari satu keluarga ke keluarga lain. Papua, secara umum, menyumbang 93% kasus malaria nasional, sebuah angka yang membuat Wulan sadar bahwa perjuangan melawan penyakit ini bukan sekadar tugas rutin.
Tahun 2024 jadi titik balik: Pegunungan Arfak resmi dinyatakan bebas malaria. Tapi… bukan berarti selesai. Karena daerah ini berbatasan dengan wilayah endemis, kasus impor malaria tetap muncul. Sejak deklarasi bebas, hanya ada lima kasus impor yang tercatat.
Medan adalah musuh yang harus Wulan taklukkan setiap hari. Ia menempuh jalan pegunungan yang licin, hutan lebat, cuaca yang tiba-tiba hujan atau panas menyengat. Dengan ransel berisi obat, alat rapid test malaria, dan tekad yang teguh, ia mendatangi warga yang jauh dari akses puskesmas.
Afrida adalah salah satu warga yang terkena malaria. Suaminya sedang tidak di rumah, dan anaknya, Nino (2 tahun), hanya bisa dia peluk lemah-lembut. Ia merasakan bagaimana tubuhnya kehilangan tenaga. Suatu ketika, keadaannya memaksa ia berjalan beberapa kilometer ke puskesmas meski dalam kondisi lemah. “Saya berpikir, siapa yang akan memberi makan anak saya kalau saya selemah ini?” kenangnya.
Wulan, yang pernah mengajar warga tentang bahaya malaria, segera mengambil tindakan: mendiagnosis, mengobati, dan juga terus memberi edukasi.
Ternyata, tak cuma jalan dan obat yang jadi tantangan. Ada kepercayaan lokal seperti “suanggi” (ilmu hitam) yang membuat sebagian orang malu atau takut datang ke puskesmas. Wulan dan rekan-rekannya harus menjembatani pemahaman ini dengan pendekatan yang sensitif budaya—melibatkan tokoh lokal dan gereja agar pesan kesehatan bisa diterima.
Dengan kerja keras petugas kesehatan, dukungan dari pemerintah dan UNICEF, perkembangan nyata terlihat: banyak kabupaten endemis malaria yang telah mencapai status eliminasi. Tapi ke depan, Wulan tahu bahwa pengawasan harus tetap kuat ‘nyamuk impor’ bisa datang kapan saja, dan jika masyarakat lengah, malaria bisa muncul kembali.
Keberanian seseorang (Wulan) dalam menghadapi medan berat dan kesadaran budaya lokal bisa membuat perbedaan besar.
Kasus seperti Afrida memperlihatkan betapa malaria bukan cuma persoalan medis, tapi juga sosial & ekonomi: ketika seseorang jatuh sakit, dampaknya bisa cascading ke keluarga.Pentingnya kolaborasi (puskesmas, tokoh lokal, pemerintah, masyarakat) agar upaya pencegahan bukan cuma retorika, tapi nyata dan menyentuh semua lapisan masyarakat.PenutupDi Arfak, di balik hijaunya hutan dan dinginnya udara pegunungan, petugas kesehatan seperti Wulan tetap berjalan satu langkah demi satu langkah. Bukan demi pujian atau pengakuan, tapi demi harapan bahwa tak ada lagi anak yang lemah, tak ada ibu yang tenggelam dalam rasa takut karena malaria menggerogoti tubuh. Ia percaya: dengan langkah-langkah kecil yang rutin, malaria bisa dikalahkan selama kita tidak memberi ruang, tidak memberi celah.