Hujan sore itu turun dengan lembut, seperti mencoba menenangkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Di bawah payung hitamnya, Nara berdiri di depan kafe kecil tempat ia dan Aldo dulu sering menghabiskan waktu. Aroma kopi yang menyeruak dari dalam membuat dadanya sesak oleh kenangan.
Satu bulan telah berlalu sejak perpisahan itu, namun setiap detail masih jelas tawa Aldo yang renyah, caranya mengaduk gula tiga kali sebelum menyeruput kopi, dan tatapan matanya yang hangat saat memandang Nara.
Mereka dulu tak berniat berpisah. Dunia saja yang memaksa. Aldo harus pergi ke luar negeri mengejar beasiswanya, sementara Nara tetap di kota kecil itu, melanjutkan kuliahnya. Waktu berjalan, pesan-pesan menjadi jarang, lalu berhenti sama sekali.
Namun tak ada hari yang benar-benar berlalu tanpa bayangan Aldo di benak Nara.
Ketika pintu kafe berdering sore itu, Nara menoleh dan di sana, berdiri seseorang dengan senyum yang ia hafal di luar kepala. Aldo. Dengan wajah yang sedikit lebih dewasa, namun mata yang masih sama teduh dan hangat.
“Masih suka kopi dengan gula tiga sendok?” tanya Nara pelan, mencoba menyembunyikan getar suaranya.
Aldo tertawa kecil. “Dan kamu masih ingat.”
Percakapan mereka mengalir pelan, seperti hujan di luar sana tidak deras, tapi cukup untuk membasuh kenangan yang lama tertimbun. Mereka bicara tentang masa lalu, tentang hidup yang membawa mereka ke arah berbeda, dan tentang perasaan yang ternyata tidak pernah benar-benar pergi.
Sore itu mereka tidak berjanji apa pun. Tidak ada kata “kembali” atau “selamanya.”
Hanya dua orang yang saling tahu bahwa beberapa kisah memang tidak harus selesai.