Langit pagi itu tampak cerah, tapi hati Rani justru gelisah. Di halaman rumah, motor matic kesayangannya berdiri tegak, seolah menantangnya untuk berani. Ia sudah cukup mahir mengendarai motor di sekitar desa — jalan kecil yang sepi, di antara sawah dan pepohonan. Tapi hari ini berbeda. Untuk pertama kalinya, ia harus melewati jalan raya menuju kampus, jalan yang selalu ia takuti karena penuh dengan mobil besar dan kendaraan yang melaju kencang.
Biasanya, ayah atau kakaknya yang mengantarnya. Namun kali ini mereka berangkat lebih pagi untuk bekerja. Tidak ada siapa pun yang bisa menemaninya. Kuliah penting menunggu, dan menunda bukan pilihan. Rani memandangi jam tangannya, lalu menarik napas panjang. “Kalau tidak sekarang, aku tidak akan pernah berani,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menyalakan mesin motor. Suara derumannya seperti mengiringi detak jantung yang berpacu cepat. Ketika sampai di pertigaan menuju jalan raya, rasa takutnya memuncak. Mobil-mobil melintas deras, suara klakson bersahut-sahutan. Untuk sesaat, Rani ingin berbalik pulang. Tapi ada suara kecil di dalam hatinya yang berkata, “Kamu bisa. Semua orang pernah takut sebelum menjadi berani.”Ia menunggu celah di antara kendaraan, lalu memutar gas perlahan. Angin kota yang dulu terasa menakutkan kini menyentuh pipinya dengan lembut. Ia tetap waspada, tapi langkahnya mantap. Sekitar dua puluh menit kemudian, gerbang kampus akhirnya tampak di depan mata. Rani berhenti, menarik napas panjang, lalu tersenyum lega.
Hari itu, ia tidak hanya sampai di kampus tepat waktu. Ia juga sampai pada titik baru dalam hidupnya — titik di mana ia belajar bahwa keberanian tidak datang karena situasi aman, tetapi karena hati memilih untuk maju meski dunia terasa menakutkan.