Di zaman sekarang, banyak anak muda lebih sering sibuk dengan ponselnya. Di kampung pun sama, nongkrong bareng tapi masing-masing fokus ke layar, jarang ada kegiatan yang benar-benar bikin mereka bergerak dan berkumpul. Dari situlah muncul keinginan untuk mengingatkan bahwa permainan tradisional juga seru dan bisa mempererat kebersamaan
Suatu sore, Jun angkat bicara,
Jun: “Kita ini tiap nongkrong cuma main HP. Gimana kalau kita bikin sesuatu yang seru kayak dulu?”
Faris: “Maksudnya?”
Jun: “Bikin layangan raksasa. Dulu waktu kecil seru banget main layangan. Sekarang sudah jarang.”
Ilham: “Wah, idenya keren! Biar anak-anak kampung lihat, mainan tradisional itu seru.”
Riyan: “Setuju. Kita bikin yang gede sekalian, biar kalau terbang, semua orang bisa lihat.”
Yudi: “Berarti harus siap-siap bahan. Bambu, kertas, tali. Siapa yang mau ikut?”
Arifin: “Aku ikut. Biar ramai-ramai, pasti seru.”
Semua pun sepakat. Persiapannya butuh waktu. Mereka mencari bambu ke kebun, memotongnya, merakit kerangka, menempel kertas, sampai memasang tali. Suasana gotong royong terasa sekali.
Beberapa hari kemudian, layangan raksasa berukuran tiga meter itu akhirnya jadi. Hari penerbangan tiba, warga ramai-ramai berkumpul di halaman masjid.
Riyan: “Siap semua? Anginnya pas nih!”
Faris: “Aku pegang kerangka, yang lain tarik talinya!”
Layangan perlahan mulai terbang tinggi di langit biru. Warga bersorak senang, anak-anak berteriak gembira, orang tua tersenyum mengenang masa kecil mereka.
Yudi: “Akhirnya berhasil juga! Lihat, terbangnya tinggi sekali!”
Ilham: “Bukan cuma layangannya yang terbang, tapi juga suasana desa jadi hidup lagi.”
Momen itulah yang akhirnya dijadikan berita. Bukan hanya tentang layangan besar yang berhasil terbang, tapi juga pesan bahwa permainan tradisional tidak boleh hilang, karena di situlah kebersamaan dan keceriaan desa bisa kembali terasa.