Fiksi

Langit Oranye, Wajah yang Kutunggu

Ada perjalanan yang tak diukur dengan jarak, tapi dengan degup. Semakin dekat, semakin cepat. Setiap langkah terasa seperti mendekati sesuatu yang diam-diam selalu kurindu, meski tak pernah benar-benar sempat kuungkap. Di tengah riuh sore, aku larut dalam sesak yang tak bisa kuhindari. Tubuhku terhimpit, napasku terbagi dengan banyak orang asing. Tapi anehnya, aku tidak keberatan. Sebab aku tahu, semua itu hanya jalan singkat menuju yang lebih penting: sebuah pelukan, sebuah senyum, sebuah rumah. Aku menatap keluar, membiarkan jendela menjadi layar yang memutar film harian: langit memerah, udara membawa dingin, suara-suara asing menjadi musik pengantar. Ada harapan yang makin jelas: sebentar lagi, seseorang akan menunggu dengan sabar, seperti selalu. Dan benar saja. Saat perjalanan berhenti, aku menemukannya. Senyum sederhana di balik helm, tangan yang melambai, motor tua yang tak pernah gagal membawaku pulang.Ternyata, kebahagiaan sering menyamar dalam bentuk paling biasa. Kadang ia datang sebagai perjalanan yang penuh desakan, hanya untuk berakhir pada hal paling hangat: jemputan ibu di ujung jalan.

Related posts

Menebus180 Hari dengan Hitungan Detik

Zida Kamalia

Sebatang senja di ujung jalan

Sonia Febrila

Kursi yang Kosong

Putri Syafarista

Leave a Comment