
Probolinggo, 9 September 2025 — Fenomena menurunnya semangat belajar di kalangan santri kini mulai menjadi perhatian, khususnya di sejumlah pesantren yang berada di wilayah terpencil Probolinggo. Alih-alih memanfaatkan waktu pulang mengaji untuk mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah dipelajari atau muroja’ah, banyak santri kini lebih sibuk dengan gawai dan arus media sosial.
Suasana Pesantren yang Berubah
Tradisi lama santri seperti membaca ulang kitab kuning selepas pengajian, mengulang hafalan bersama, bahkan tatakrama kepada guru perlahan tergeser. Kini, pemandangan umum di kalangan santri, khususnya saat di kegiatan mushollah, yang dulunya sangat ramai dengan lantunan ayat Alquran, sekarang justru sepi. Banyak yang memilih untuk duduk melingkar tapi bukan mengaji melainkan bercerita tentang aktifitasnya masing-masing.
“Kalau dulu setiap selesai ngaji suasananya ramai, anak-anak saling tanya, saling baca kitab. Tapi sekarang lebih banyak bercerita tentang media sosial, bahkan trend Velocity juga sudah sangat marak. Jadi kurang ada semangat,” ungkap salah satu ustadz pengajar di sebuah pesantren pedalaman Probolinggo.
Media Sosial: Hiburan atau Gangguan?
Maraknya media sosial di kalangan santri dianggap sebagai salah satu faktor yang melemahkan antusiasme dalam belajar. Konten hiburan, tren viral, hingga permainan daring seringkali lebih menarik perhatian dibandingkan kitab atau catatan pelajaran.
“Kalau sudah pegang HP, bisa sampai lupa waktu. Bahkan terkadang untuk sholat pun harus diingatkan, mereka lebih tertarik dengan jogetan tiktok atau kabar yang sedang viral,” ujar salah satu wali santri.
Tantangan di Pesantren Terpencil
Kondisi ini makin terasa di pesantren-pesantren terpencil Probolinggo. Letak yang jauh dari pusat kota membuat hiburan terbatas, sehingga media sosial menjadi pelarian utama bagi banyak santri. Namun, dampaknya justru membuat motivasi belajar menurun.
“Pesantren di pedalaman itu sebenarnya punya suasana yang tenang untuk belajar. Tapi karena masuknya gadget dan media sosial, ketenangan itu justru berubah jadi kesepian. Santri lebih memilih dunia maya daripada berinteraksi langsung,” jelas KH. Zainuddin, salah satu pengasuh pesantren di Probolinggo.
Refleksi untuk Dunia Pendidikan Pesantren
Fenomena ini menandakan perlunya perhatian lebih dari pengasuh pondok, guru, hingga orang tua. Literasi digital dan pendampingan penggunaan gadget menjadi langkah penting agar media sosial tidak sepenuhnya menggerus semangat belajar santri.
Pesantren diharapkan mampu menghadirkan kembali budaya belajar bersama, agar semangat santri tidak redup oleh derasnya arus digital.