Sastra

Cahaya di Panggung, Doa di Sunyi

Malam selalu datang dengan janji yang sama, bahwa Afia akan kembali menatap layar televisi,
menunggu sosok yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya.

Namanya Arbil Fahrizan, penyanyi muda yang kini tengah berjuang di Dangdut Academy 7.
Setiap kali ia muncul di panggung, dunia seolah berhenti berputar.
Cahaya sorot lampu menari di wajahnya, dan suara lembutnya menggema seperti doa yang terucap lewat lagu.

Aksi panggungnya tidak pernah gagal.
Setiap gerak langkahnya seolah sudah menyatu dengan irama, senyum yang dilemparkannya membuat penonton bersorak, dan setiap nada yang keluar dari bibirnya selalu tepat dan penuh rasa, penuh jiwa, seakan lahir dari kejujuran yang murni.

Bagi banyak orang, Arbil hanyalah penyanyi muda yang sedang meniti mimpi.
Tapi bagi Alya, ia lebih dari itu.
Ia adalah semangat yang tumbuh di antara hari-harinya yang sepi, cahaya yang menuntun setiap malamnya agar tak terasa hampa.

Afia duduk di atas kasur di ruang televisi,
menatap Arbil dari balik layar, seolah jarak ribuan kilometer
lenyap tertelan rasa kagum.
Setiap kali Arbil bernyanyi,
Afia menahan napas tak ingin satu nada pun lewat tanpa ia rasakan.

Malam-malamnya kini berubah menjadi ritual yang tak tergantikan.
Sebelum acara dimulai, ia menundukkan kepala, membisikkan doa kecil yang hanya Tuhan dan hatinya yang tahu.
“Tuhan, semoga malam ini dia diberi kekuatan.
Semoga ia selalu tenang dan profesional dalam bernyanyi,
dan suaranya tetap menembus hati setiap pendengar.
Jadikan dia juara…
karena aku tahu, dia pantas untuk itu.”

Namun di balik harapan yang tulus itu,
tersimpan kesadaran yang menyesakkan.
Arbil bukan hanya miliknya,
bukan bahkan milik satu orang pun.

Banyak yang mengaguminya,
dari ujung kota hingga luar negeri.
Ratusan, bahkan ribuan mata menatapnya dengan kekaguman yang sama.
Dan di antara lautan penggemar itu,
Afia hanyalah satu nama kecil yang tak dikenal siapa pun.

Kadang ia tersenyum getir ketika membaca komentar di media sosial,
melihat foto-foto para penggemar yang datang langsung menonton,
sementara dirinya hanya bisa memandangi layar
dari rumah sederhana di pinggir desa.

Ia tahu,
mencintai seseorang yang begitu tinggi
ibarat menatap bintang di langit malam.
Kau tahu cahayanya indah,
tapi kau juga tahu, kau tak akan pernah bisa menyentuhnya.

Namun meski begitu, Afia tetap bertahan.
Setiap malam, ia tetap menunggu, tetap berdoa, tetap berharap,
bukan agar Arbil menyadari keberadaannya,
tetapi agar ia bisa terus melihat orang
yang telah membuat hatinya hidup.

Dan di antara gemuruh tepuk tangan penonton,
di antara suara juri dan musik yang menggema,
ada satu doa yang perlahan naik
dari sudut sunyi sebuah kamar kecil.
“Semoga langkahmu panjang, Arbil Fahrizan…
dan semoga aku cukup bahagia
hanya dengan melihatmu dari jauh.”

Related posts

Perasaan Yang Tak Terjelaskan

Dini Dwi Safitri

Suara Sunyi di Balik Senyumku

Bela Dwi Lestari

Malam Terakhir di Bundaran Glaser

Jamilatuz Zahro

Leave a Comment